
"Umat Islam, bebaskan diri anda dan anda bisa berbuat apa saja". Demikian bunyi imbauan pemimpin Partai Kebebasan PVV, Geert Wilders kepada semua muslim.
Imbauan itu baru-baru ini dipublikasikannya pada situs web muslim, moslimsdebate.com. Dalam artikel tersebut, Wilders menggambarkan Islam sebagai agama fatalis, tiranik, penuh kekerasan dan irasional. Dan dengan demikian Islamlah yang menyebabkan tidak adanya demokrasi dan kemajuan di negara-negara Islam.
Ini berbeda dengan agama Yahudi dan Kristen. Dua agama ini mendorong penganutnya untuk bebas dan rasional. Hanya dengan membebaskan diri dari agama mereka, muslim bisa mengembangkan potensi sejati mereka.
Argumen Wilders itu merupakan contoh tulen orientalisme abad ke-19. Pemimpin PVV rupanya tidak menyadari bahwa argumentasi yang berasal dari tahun 1970-an seperti itu telah dibantah oleh berbagai kritisi seperti ilmuwan sastra Palestina Edward Said.
Para pengkritik itu memang benar kalau mengatakan bahwa agama-agama dunia seperti Islam tidak memiliki esensi kekal yang penuh kekerasan atau justru damai, atau apa pun. Selama berabad-abad, agama-agama itu menghasilkan pelbagai macam interpretasi dan aliran. Atas nama kitab suci masing-masing agama, para pemeluknya mengeluarkan beragam pendapat.
Pasifisme Memang ada aliran kekerasan dalam Islam, tetapi juga ada orang yang atas nama Islam menyerukan pasifisme. Memang, ada kecenderungan fatalis dan tirani dalam Islam, tetapi juga ada aliran yang berdasarkan sumber yang sama menyerukan kebebasan perseorangan dan tanggung jawab.
Al-Qur'an dan hadis nabi begitu kaya cerita, sehingga orang pasti menemukan suatu hal yang mendasari pendiriannya. Islam tidak bisa dibatasi pada salah satu dari sekian banyak bentuk perwujudannya.
Sejak Edward Said, tidak ada orang dari dunia akademik yang muncul dengan argumen esensialis seperti Wilders dan para pendahulunya di abad ke-19. Mereka yang mengetahui pemikiran itu, sangat kaget ketika Wilders menampilkan kembali pendapat konyol itu sebagai hal baru.
Tapi ada juga cara lebih sederhana, seperti dipakai Hassnae Bouazza dan Peter Breedveld belakangan di harian Belanda NRC: Sejarah membuktikan Wilders jelas salah. Jika Islam mengarah pada fatalisme, tirani dan keterbelakangan, bagaimana mungkin di abad ke-9 di bawah Islam sempat muncul kerajaan besar dan kuat di mana kemajuan ilmu pengetahuan, filsafat, arsitektur dan seni lebih pesat dari yang dicapai di Eropa?
Dengan begitu argumentasi Wilders juga bisa dibantah pada sisi sebaliknya: Jika agama Yahudi dan Kristen diyakini menghasilkan manusia yang bebas dan rasional, bagaimana kita memahami peristiwa pemburuan orang-orang yang berbeda pendapat dan perang salib Eropa Abad Pertengahan, serta Nazisme dan Stalinisme dari masa 'pencerahan' Eropa?
Retorika murahan Apa yang dilakukan Wilders dalam pemaparannya merupakan retorika kuat namun murahan, karena ia membandingkan kebaikan sendiri dengan keburukan orang lain. Berdasarkan resep yang sama, penulis vulgar Islam di negara-negara Islam menulis buku tentang agama Kristen yang dalam kitab sucinya menyerukan umat untuk membunuh dan di Abad Pertengahan juga banyak mempraktekkannya.
Belum lagi apa yang ditulis dalam sastra anti-semitisme tahun 1930-an.
Menurut Wilders Islamlah penyebab kegagalan masyarakat di negara-negara Islam. Baginya, Islam bukan hanya agama, tapi juga budaya. Penafsiran kultural untuk masalah-masalah sosial sebenarnya patut dipertimbangkan.
Budaya dan agama bisa saja memberikan penjelasan bagi keterbelakangan ekonomi maupun sosial, tetapi itu selalu menyangkut manifestasi historis dari budaya atau agama itu sendiri, bukan budaya atau agama sebagai esensi kekal. Di situlah letak kesalahan Geert Wilders.
Banyak reformis muslim sependapat dengan Wilders. Mereka pun berpendapat bahwa Islam agama 'terbelakang'. Yang mereka maksud dengan terkebelakangan adalah manifestasi Islam tradisional di masa kini dan bukan esensi ahistorisnya.
Mereka berpendapat, Islam tradisional yang berpengaruh kuat saat ini, perlu diperbaharui dan dimodernisasi.
Tapi menurut Wilders itu tidak bisa. Menurut dia Islam tidak kompatibel dengan modernitas. Jika umat muslim ingin memodernisasikan diri, jika ingin merangkul demokrasi dan hak asasi manusia, mereka harus meninggalkan Islam.
Lucunya dalam hal itu Wilders justru sepenuhnya sependapat dengan kaum fundamentalis, yang, seperti dirinya sendiri percaya bahwa muslim harus memilih antara agama mereka atau dunia modern. Bagi Wilders Islam fundamentalis adalah satu-satunya Islam yang tulen.
"Islam murni" demikian ia menyebutnya, mengutip pakar arab yang kontroversial, Hans Jansen, yang pada gilirannya tanpa malu mengutip dari kelompok fundamentalis itu sendiri.
Semua aliran lain dalam Islam, khususnya aliran lebih moderat dan moderen, menurut Wilders dan Jansen adalah bentuk "tidak murni" Islam yang mereka tidak mau kenal. Bagi mereka, mendiang reformis muslim Nasr Abu Zayd, yang mengimbau untuk menafsirkan al-Quran secara historis, tokoh yang sangat mengerikan.
"Islam murni" Prilaku Wilders sebenarnya mirip orang yang beragama juga. Ia memihak kepada aliran agama tertentu. Padahal sebagai orang luar ia hanya bisa memberi gambaran. Tahun 2006, pakar Arab, Robbert Woltering mengecam cara berpikir seperti itu dalam komentar ironis yang iromis di koran NRC Handelsblad.
Komentar tentang Hirsi Ali, yang juga terus-menerus berbicara tentang 'Islam murni', seperti Wilders dan Hans Jansen. Sejak munculnya Islam, katanya, umat Islam selalu berbeda pendapat tentang penafsiran al-Qur'an yang betul dan kebenaran hadis nabi.
Dan kini, pada saat jawaban pertanyaan itu tampaknya lebih sulit ditemukan dari sebelumnya, jawaban itu justru ditemukan di tempat yang tak terduga - dari semua tempat di bumi ini - yakni di parlemen Belanda, di mana Hirsi Ali (yang dulu juga anggota parlemen Belanda, red) belakangan mengatakan bahwa ia akhirnya menemukan Ajaran Islam yang Benar dan Murni.
Penemuan Hirsi Ali, lanjut Woltering, tentu akan membahagiakan Mohammed Bouyeri, laki-laki yang membunuh sineas Theo van Gogh atas nama Islam. Tapi akan merupakan kekecewaan bagi semua orang muslim yang dulu berpendapat bahwa Islam menghormati hak-hak perempuan dan mendorong mereka hidup damai dengan tetangga non-Muslim. Pendapat ini ternyata sekarang dianggap tidak benar.
Woltering, mengapa anda tidak lebih sering memperdengarkan pendapat anda?
Catatan: Hadis terkenal tentang fatalisme versus menentukan nasib sendiri berbunyi: Nabi Muhammad pernah ditanya: "Haruskah saya ikat unta saya atau tawakal saja pada Allah?" Nabi menjawab: "Ikatlah dulu unta anda dan setelah itu tawakal pada pada Allah." Posting oleh Samz Setiawan // Pradah info media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar