
Tewasnya Alm Ridwan Salamun kontributor SUN TV di Tual Maluku Tenggara adalah gunung es carut-marut kebijakan pemberitaan pertelevisan swasta.
Gugurnya almarhum dalam tugas meliput peristiwa berbahaya seperti itu, bagi penulis merupakan buah dari “kebusukan” kebijakan Pemodal dan Pemred TV swasta.
TV swasta yang hidup dari iklan, sudah tercabik-cabik idealismenya sebagai insan pers yang mulia dan sebagai agen demokrasi serta pembaharuan.
Di dalam benak para Pemimpin Redaksi dan Produser TV, adalah bagaimana melakukan “dagangannya” atau menaikan rating acaranya dengan berbagai cara. Sekalipun itu bertentangan dengan kode etik jurnalisme. Mereka sekarang tidak acuh dengan kode etik kewartawanan, para pemred dan produser lebih takut dipecat oleh pemilik modal stasiun TV mereka bekerja, daripada diperingati atau diberi sanksi oleh Dewan Pers atau KPI misalnya.
Karena itulah, dicari berita atau dibuat acara yang bombastis atau berselera rendah seperti skandal seks, kekerasan seksual, mistik, kekerasan dan tawuran masal, pembakaran aset pemerintahan, pembunuhan sadis dan lain sebagainya.
Bagi mereka yang penting ratingnya tinggi dan laku di pasaran, peduli amat dengan efek yang ditimbulkan kepada pemirsa mereka. Mereka juga tidak peduli kepada resiko kerja yang dihadapi oleh wartawan dalam meliput suatu kejadian.
Keluhan Wartawan TV Senior
Dalam koran KOMPAS hari minggu kemarin (22/8), diberitakan keluhan dari wartawan senior TV di Makassar Husain Abdullah yang juga Ketua Ikatan Jurnalis TV Indonesia Sulawesi Selatan. Penulis kutip secara lengkap sbb:
Husain Abdullah menghimbau pengelola stasiun TV agar kejadian ini menjadi pelajaran berharga, terutama menyangkut perlindungan kerja wartawan.
“Berdasarkan pengalaman saya bekerja 20 tahun lebih di TV swasta, umumnya pengelola TV menuntut pengiriman berita secepat mungkin dan tak mau kehilangan momen. Namun mereka tidak melengkapi wartawan dengan sarana memadai seperti rompi dan helm. Asuransipun terabaikan,” ujarnya.
Dari pernyataan Husain Abdullah diatas, terlihat jelas keluhan seorang wartawan atas ketidak acuhan stasiun TV atas resiko yang dihadapi wartawannya dalam tugas liputan.
Ini merupakan konfirmasi atas apa yang penulis kecam akan kebusukan kebijakan pemberitaan stasiun TV swasta. Stasiun TV tidak peduli dengan isi berita merusak pemirsa dan abai dengan keselamatan wartawannya.
Catatan Penulis
Penulis sendiri sudah dua kali menurunkan tulisan mengecam kebusukan kebijakan pemberitaan stasiun TV swasta.
Di tulisan “Stop Pemberitaan Video Porno “Ariel-Luna”, lihat link ini.
penulis mengecam keras pemberitaan “intensif” stasiun swasta. Kasus video porno itu diberitakan tidak hanya oleh program infotainment, malahan juga merambah program berita reguler. Penayangannyapun tidak mengenal waktu, pagi sampai malam berita itu membombardir ruang-ruang keluarga Indonesia. Sehingga berita konyol tersebut dapat diakses oleh anak baru lahir sampai orang jompo.
Di tulisan Redenominasi, “Tipuan” Darmin Mengalihkan Isu, PDIP Terpuruk Sebagai Oposisi
penulis menyayangkan Pers yang “terbawa arus” Darmin Nasution dalam wacana Redenominasi. Padahal harusnya Pers lebih jeli membongkar rekam jejak Darmin yang kelam dan menelusuri pernyataan Eva Kusuma Sundari, bahwa ia disuruh ketua Komisi III Emir Moeis “mengamankan” pemilihan Darmin.
Emir sendiri sedang tersandung oleh pencairan kasus cek pelawat saat pemilihan Deputi Senior Gub BI Miranda S Gultom. Ia diduga melakukan transaksional dengan penguasa, kasusnya dipetieskan dan dibarter dengan dukungannya kepada Darmin.
Seharusnya Pers menginvestigasi lebih dalam rekam jejak Darmin yang bergelimang skandal tersebut, dan mencari sumber “api” dari “asap” yang diletupkan Eva diatas.
Menyalahkan Polri
Dewan Pers, AJI dan IJTI menyalahkan Polri dalam kasus tewasnya almarhum. Mereka menganggap negara dianggap gagal melindungi wartawan, Polri dianggap tidak becus melindungi wartawan yang sedang bertugas.
Bagi penulis hal ini sangat menggelikan karena salah alamat, bagaimana mungkin dalam kasus ini Polri dikambing hitamkan?? menyalahkan Polri pertanda ketidakjelian Dewan Pers, AJI dan IJTI menangkap jernih akar permasalahan atas tewasnya almarhum yaitu kebusukan kebijaksanaan pemberitaan stasiun TV.
Menurut Penulis, stasiun TV lah yang harus dipersalahkan. Almarhum meliput kerusuhan itu karena “pedoman” dari produsernya. Dibawah tekanan “pedoman” tersebut, almarhum meliput berita tersebut untuk mendapatkan gambar seeksklusif mungkin. Kita semua tau, seringkali juru kamera meliput kerusuhan dengan cara berada langsung ditengah masa yang sedang saling bentrok.
Contoh kerusuhan Koja kemarin, para juru kamera mengambil gambar ditengah-tengah bentrokan. Bukan meliput dari jauh dan men-zoom-kan kameranya. Para juru kamera sadar akan resiko yang dihadapi mereka dengan tindakan nekat seperti itu.
Dalam kasus ini, almarhum mulai meliput sejak pagi-pagi buta. Resiko yang dihadapi almarhum lebih besar dibandingkan dengan meliput kerusuhan Koja. Jika Koja antar Satpol PP VS warga yang notabene dapat dilihat identitasnya dari seragam masing-masing, tetapi ini bentrokan antar warga secara horizontal tanpa identitas yang jelas. Tidak ayal dalam situasi chaos ini, siapapun dapat terkena fitnah disangka sebagai pihak lawan.
Penutup
Tewasnya almarhum merupakan tanggung jawab stasiun TV tempat almarhum bekerja SUN TV. Dari pemberitaan yang penulis ikuti SUN TV sibuk dengan mendorong Polri mengusut kasus tewasnya almarhum. Sekilas desakan SUN TV tersebut “benar”, tetapi sejatinya SUN TV mencoba mengalihkan isu sebenarnya, atau mungkin mereka merasa kebiijakan busuk pemberitaan tersebut adalah hal yang sudah seharusnya??
Terakhir penulis mencoba menggugah Dewan Pers, AJI dan IJTI untuk memecahkan inti permasalahan diatas, harus diurai oleh insan wartawan agar tidak terjadi kejadian tragis ini dimasa datang.
Dan yang lebih penting lagi, para penggiat Pers harus memperjuangkan dan memastikan kelangsungan hidup Istri dan satu orang anak laki-laki almarhum yang baru berusia 2 tahun, tidak ada keterangan atau pernyataan lebih lanjut dari SUN TV tentang ini.
Intinya… Jangan kematian tragis almarhum berakhir sia-sia… Jadikanlah momentum ini merubah tatanan kebijakan pembertitaan yang ada, keselematan dan kesejahteraan karyawan beserta keluarganya….
Selamat Jalan Bung Ridwan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar