Promotion

.

PRADAH INFO MEDIA MANAGEMENT

Klik Salah Satu poin link iklan di bawah ini, lalu close
Terima kasih atas kunjungan anda di Web blogg kami. [http//:lodoyoblogz.blogspot.com]

Minggu, 04 Juli 2010

Batam under cover part 03

Dari Nagoya ke batu 24

PEKAN lalu, selama lima hari, “PR” menjelajah sejumlah tempat di Provinsi Kepulauan Riau yang diduga menjadi tujuan praktik perdagangan manusia. Kenyataan yang mengejutkan, permintaan perempuan asal Jawa Barat ternyata begitu tinggi, mencapai lebih dari tujuh puluh persen. Para korban diperangkap dengan utang yang tak berkesudahan.

“WAH, maaf Bang. Ceweknya sudah habis. Tinggal inilah. Cobalah lihat-lihat dulu. Kalau ada yang cocok, angkatlah! Di tempat lain juga belum tentu ada”. Melihat kami seperti tak betah, pengelola sebuah tempat karaoke di daerah Nagoya, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau itu segera menebar rayuan.

Ditemani seorang sumber yang tahu betul seluk-beluk kota, malam itu, Sabtu (14/11), “PR” mengelilingi Kota Batam, menyambangi tempat karaoke dan pijat. Selepas magrib, kami bergerak menyusuri blok-blok rumah toko (ruko), lokasi di mana tempat karaoke dan pijat itu berada. Kami memilih dua daerah: Nagoya dan Windsor. “Sebab, dua daerah itulah yang paling banyak tempat karaoke dan pijat,” ujar sang sumber.

Tak kurang dari sepuluh tempat kami datangi. Dan, kami mendapatkan satu jawaban, “Ceweknya sudah habis”.

Kenapa bisa begitu? Usut punya usut, setiap akhir pekan Batam menjadi tempat tujuan pelancongan warga Singapura, sebagian besar berusia setengah baya. “Di sini, mereka disebut apek-apek Singapur. Tujuan mereka: apalagi kalau bukan judi, mabuk-mabukan, dan main cewek,” kata sumber tadi.

Di sebuah tempat karaoke di daerah Windsor, “PR” sempat menyaksikan pemandangan itu. Di hall, tujuh ape-ape tengah asyik berpesta minuman keras, masing-masing didampingi perempuan. Sesekali, gelak tawa terdengar. Sejurus kemudian, mereka meninggalkan tempat itu dan, sepertinya, menuju sebuah hotel. “Cewek-cewek itu di-booking seharian. Harganya berkisar Rp 350.000,00 hingga Rp 500.000,00 sehari. Bisa juga short time, Rp 150.000,00 sampai Rp 200.000,00″ ujar sumber itu.

Begitulah Batam setiap malam Minggu.

Di sana, di kota itu, semua tempat karaoke dan pijat dijadikan kedok bagi praktik prostitusi, dan kedok itu segera terkuak ketika memasuki pintu utama tempat itu. Si pelanggan bisa dengan segera menyaksikan sederetan perempuan. Tak perlulah si pelanggan berpura-pura memesan room karaoke atau berpura-pura menggunakan jasa pijat. “Pelanggan bisa langsung membawa cewek itu ke hotel,” kata sang sumber.

**

seiring perkembangan zaman, Batam menjadi “surga” bagi praktik prostitusi. Dulu, wilayah ini hanya memiliki satu wilayah prostitusi bernama Samyong. Kini, di seantero Batam, terdapat empat wilayah lokalisasi pekerja seks, yakni Nagoya, Batu Ampar, Teluk Bakau (Nongsa), dan Sintai (di daerah Teluk Pandan, Tanjung Uncang.

“Hukum ekonomi berlaku, supply selalu menyesuaikan diri dengan demand. Begitu pula yang terjadi di Batam. Beberapa tahun belakangan ini, kecenderungan jumlah pekerja seks yang datang ke Batam mengalami peningkatan. Tak hanya perempuan yang datang secara sukarela, banyak pula yang menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking),” ungkap Tamami, pegiat di Yayasan Bahtera, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kota Bandung yang peduli terhadap kasus human trafficking.

Kota Batam –serta dua wilayah lainnya, yakni Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun– memiliki dua fungsi sekaligus dalam praktik perdagangan manusia: sebagai daerah transit dan daerah tujuan. “Untuk buruh migran, Kota Batam dan sekitarnya selalu menjadi daerah transit,” ungkap Lelyta Fitri, pemimpin Rumah Singgah Engku Putri, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Sementara itu, untuk eksploitasi seksual, ketiga wilayah itu dijadikan sebagai tujuan akhir. Wilayah Tanjung Balai Karimun pernah menjadi “primadona” dibandingkan dengan dua daerah lainnya di Kepulauan Riau sebelum Batam menjadi kota yang maju. Seiring dengan berkembangnya Batam sebagai daerah transit perdagangan internasional, Batam juga tumbuh sebagai salah satu daerah perindustrian. Perkembangan itu sejalan dengan dampak negatif semakin merebaknya tempat-tempat hiburan serta lokalisasi prostitusi.

Berdasarkan penelusuran, para pekerja seksual yang berada di Batam, saat ini, sebagian besar berasal dari daerah di luar Batam. Mereka dikirim oleh jaringan dan sindikat prostitusi yang terkoordinasi secara rapi dan profesional. Sindikat ini biasanya berhasil mengirimkan pekerja seksualnya dengan cara menipu dan mengelabui korban dengan menawarkan bekerja pada sebuah kafe, tempat karaoke, kedai, atau pelayan restoran. Akan tetapi setelah tiba di Batam, korban kemudian dijadikan pekerja seks.

Korban tidak berdaya untuk keluar dari lokalisasi. Pengawalan dan pengawasan yang ketat kepada korban serta keberhasilan jaringan ini untuk menutup dan menyembunyikan diri dari aparat penegak hukum membuat korban semakin terjerumus.

Bentuk eksploitasi terhadap para pekerja seks yang dilakukan oleh para pelaku perdagangan manusia (human trafficking) berupa penipuan (biasanya terjadi pada proses perekrutan), pemalsuan dokumen, kekerasan seksual, pemaksaan, ancaman dan intimidasi, serta jeratan utang. Selain itu, banyak kasus berupa gaji tidak dibayar, penyekapan, kekerasan fisik, serta tekanan psikologis.

Berdasarkan data Yayasan Setara Kita Kota Batam yang diperoleh selama 2005-2009, terjaring sedikitnya 319 korban trafficking dari daerah Kepulauan Riau. Ironisnya, lebih dari separuh jumlah itu berasal dari Jawa Barat. Sisanya tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Hal itu menandakan bahwa perekrutan korban trafficking dilakukan secara sporadis.

**

tak hanya di Kota Batam, bisnis birahi pun marak di Pulau Bintan, baik di Kota Tanjung Pinang maupun di Kab. Bintan. Khusus di Tanjung Pinang, belakangan bisnis itu sudah jauh berkurang. “Setelah judi dilarang, tingkat kunjungan ke sini jauh berkurang. Hampir semua pub, diskotek, dan tempat karaoke tutup. Tinggal satu. Begitu juga dengan tingkat kunjungan ke lokalisasi, Batu Lima Belas dan Batu Dua Empat. “Dulu, saya hampir setiap hari mengantar apek-apek Singapur ke tempat-tempat itu. Sekarang, seminggu sekali juga tak,” ujar Ahmadizon (27), pengemudi taksi yang memandu “PR” mengelilingi Kota Tanjung Pinang dan sekitarnya.

Kendati demikian, bisnis birahi di Kota Tanjung Pinang tak sepenuhnya padam. Tengok saja di Batu Tiga, di sebuah lapangan di dekat Hotel Bintan Plaza. Selepas magrib, puluhan tenda didirikan di lapangan itu, menjajakan kopi dan jajanan ringan. Para pelayannya perempuan berpakaian seronok. “Mereka bisa ’dipake’, coba aja,” ujar seorang kawan berbisik. Dan betul saja, ketika “PR” berkunjung, sejumlah perempuan menghampiri lalu menawarkan “jasa” dalam simbol kopi.

Lokasi lain yang juga terbilang ramai adalah Batu Dua Empat, Kab. Bintan, yang berjarak empat puluh kilometer dari pusat Kota Tanjung Pinang. Lokalisasi itu terdiri dari sekitar dua rukun warga (RW) dengan tempat terpencil mengitari perbukitan. Dengan bentuk rumah-rumah sederhana, Batu Dua Empat memiliki lay out rumah yang seragam. Teras rumah dengan kursi-kursi, ruangan tengah yang agak lapang dilengkapi kursi atau sofa, serta deretan kamar-kamar yang agak sempit. Penerangan di sekitar rumah pun layaknya akuarium dengan warna-warna menyala seperti merah, kuning, atau hijau.

Penawaran jasa birahi dilakukan secara terang-terangan. Setiap orang yang melintas di jalan berbatu itu langsung disahut dengan tangan yang melambai-lambai tanda ajakan. “Abang…abang, singgah dululah, Bang!”

Akan tetapi, yang membuat miris, di kawasan wajib kondom itu juga tinggal anak-anak kecil yang hidup bersama keluarganya. Satu hal lagi, Batu Dua Empat merupakan tempat yang sering dijadikan “pelabuhan terakhir” praktik perdagangan manusia. Buktinya, ketika hendak berkunjung, secara kebetulan “PR” mendapatkan gadis belia asal Jawa Barat yang menjadi korban trafficking. Namanya Rosa (16), sebut saja begitu, warga Babelan, Kab. Bekasi.

“Alhamdulillah, trafficker-nya juga ketangkep. Untungnya lagi, si korban ini belum sempat dijual ke mami di sana. Menurut korban, masih banyak perempuan seusia dia ’bekerja’ di sana. Akan tetapi, karena masih baru, dia tak tahu nama-nama bloknya. Satu lagi, kami juga mendapat informasi, ada gadis di bawah umur, juga asal Jawa Barat, yang hamil empat bulan dan masih disuruh bekerja. Saat ini kami masih mencari cara untuk membawa dia dari sana,” ujar Lelyta Fitri menandaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar