Lodoyo, bloggz
Sebagai ajang informasi dan diskusi anak - anak muda Indonesia penggemar seni sastra dan filsafat etnik nusantara, serta sebagai sarana hiburan dan edukasi melalui kegiatan kejurnalistikan dan observasi sosial
Rabu, 15 September 2010
MOTHER OF DUTCH EARTH' SYMPHONIC GOTHIC METAL BAND
Selasa, 07 September 2010
NU: jamaah konservatif yang melahirkan gerakan progresif
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah 1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun (maksudnya dengan Golkar) dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya – pertemuan, seminar, ... – tidak lagi dilarang dan malah sering ‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran – baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik. Perihal pemikiran keagamaan, NU justeru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sama bertahan terhadap gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang diwakili oleh Muhammadiyah, Al Irsyad dan Persis. NU hanya menerima interpretasi Islam yang tercantum dalam kitab kuning ‘ortodoks’, al-kutub al-mu`tabarah, terutama fiqh Syafi’i dan aqidah menurut madzhab Asy’ari, dan menekankan taqlid kepada ulama besar masa lalu. Pembaharuan pemikiran Islam, boleh dikatakan, secara prinsip bertentangan dengan sikap keagamaan NU. Dalam sikap politik dan sosial pun, NU dikenal sangat pragmatis dan kurang orisinal. Ketika Herb Feith dan Lance Castles menyusun sebuah antologi tentang pemikiran politik Indonesia setelah kemerdekaan (Indonesian Political Thinking 1945-1965. Cornell University Press, 1970), mereka mencantumkan tulisan dari semua aliran politik kecuali NU karena memang hampir tak ada satu pun pemikir politik NU yang menonjol saat itu.
NU memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat menonjol – sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965-66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut; tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik; massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
Perlu dicatat bahwa Kiai Idham dengan segala kelonggarannya dalam berpolitik, agaknya, lebih mewakili pendirian kiai NU ketimbang tokoh seperti Wahid Hasyim atau Subchan ZE. Para kiai di daerah tidak pernah punya ambisi mengurusi negara, membuat undang-undang atau mempengaruhi kebijaksanaan sosial dan ekonomi. Kebutuhan mereka lebih sederhana dan pragmatis: pesantren harus hidup, dan pengusaha di daerah yang mendukung kiai memerlukan tender. Dalam hal ini, Kiai Idham sangat pandai memenuhi kebutuhan daerah dan menjembatani jarak pusat – daerah melalui hubungan patronase yang ia jaminkan.
Dengan latar belakang ini, aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970an dan 1980an, dan munculnya wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interpretasi khazanah klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi Islam untuk masyarakat yang sedang mengalami perubahan cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner. Baik dalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang, perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar ‘akar rumput’ yang merupakan mayoritas jamaahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan. Dominasi aktivitas dan wacana NU oleh elit tradisional, yang terdiri dari para kiai besar pendiri NU dan keturunan mereka (‘kaum gus-gus’), telah mulai terdobrak. Sebagian besar aktivis dan pemikir muda yang memberi nuansa baru kepada NU pada dasawarsa 1980an dan 1990an tidak berasal dari ‘kasta’ kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial. (Tetapi perlu juga dicatat bahwa mereka bisa muncul karena mendapat dukungan dan perlindungan dari sejumlah tokoh muda dari kalangan elit, seperti Fahmi Saifuddin, Mustafa Bisri, dan Abdurrahman Wahid.)
Perkembangan internal NU tersebut dimungkinkan oleh sejumlah faktor eksternal yang mengurangi isolasi warga NU dari masyarakat luas. Salah satu faktor penting ialah berdirinya IAIN di setiap propinsi, yang membuka peluang bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan tinggi. Kehidupan di kampus — kelompok diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari latar belakang berbeda, bacaan yang luas, di samping mata kuliah beragam — kemudian membantu sebagian mereka untuk memperluas cakrawala sosial dan intelektual mereka.
Faktor lain ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah LSM nasional dan internasional lainnya. Dengan demikian, pesantren sedikit demi sedikit mulai ditarik ke dalam jaringan komunikasi internasional. Gerakan LSM mulai menjadi faktor penting di panggung politik internasional pada dasawarsa 1960-an. Di Indonesia, sponsor asing mulai membidani LSM pada dasawarsa 1970-an, dan gerakan LSM menjadi semakin menonjol pada dasawarsa 1980-an. Dari segi jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor eksternal – tetapi khususnya sesudah ‘Muktamar Situbondo’ semakin banyak orang NU sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam yang ‘relevan’.
Proses depolitisasi pada masa Orde Baru — kebijaksanaan massa mengambang, penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas pegawai negeri, ‘normalisasi’ kehidupan kampus, pemaksaan azas tunggal — membawa dampak berat juga terhadap NU. Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, NU merupakan satu-satunya ormas yang mempunyai akses ke akar rumput dan sekaligus aktif sebagai organisasi politik. Karena dukungan massanya, NU selama itu merupakan kekuatan politik terbesar di luar pemerintah — dan dianggap satu-satunya oposisi yang perlu diperhitungkan. Di Situbondo kekuatan politik itu dikorbankan dengan harapan akan dapat menjalin kembali hubungan mesra antara NU dan pemerintah di pusat maupun daerah. Orang boleh bertanya apakah harga depolitisasi tersebut tidak terlalu mahal. Tetapi perkembangan pemikiran dan kegiatan sosial yang menjadi begitu menonjol pada limabelas tahun berikutnya, agaknya, tidak akan mungkin terjadi andaikata tidak ada keputusan Situbondo. Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
Penarikan diri NU dari politik praktis membawa keuntungan dan kerugian sekaligus, baik bagi NU sebagai organisasi maupun bagi orang-orangnya. Kalau dulu patronase (dalam bentuk bantuan dari pemerintah dan berbagai macam fasilitas) mengalir melalui organisasi NU, dari PBNU ke wilayah dan cabang, setelah keputusan Situbondo setiap kiai bebas menjalin hubungan dengan bupati atau gubernur. Dengan demikian, pengaruh pengurus pusat terhadap warga di daerah menurun drastis, dan sebagai organisasi NU kehilangan sanksi efektif untuk memaksakan loyalitas warganya. Akibatnya, NU tidak berbicara dengan satu suara lagi dalam perkara sosial dan politik yang penting, dan dengan begitu bobotnya sebagai moral force dalam sistim politik Indonesia pun hilang. Pada hemat saya, keuntungan terpenting dari depolitisasi – di samping keuntungan perseorangan yang diperoleh para kiai dan pengusaha lokal yang menikmati kembali hubungan mesra dengan pemerintah daerah – ialah berkembangnya intelektualisme dan aktivitas sosial yang merupakan pokok utama buku ini.
Pembaharuan pemikiran Islam selama ini terjadi terutama di kalangan modernis, sedangkan NU dianggap mandeg dan hanya mendaur ulang pemikiran lama. Sejumlah tokoh gerakan pembaharuan Islam tahun 1970-an memang punya latar belakang keluarga berkultur NU, tetapi mereka sudah melepaskan ikatan dengan budaya pesantren dan bersosialisasi di HMI. Pada awal tahun 1990-an situasi telah banyak berubah dan perkembangan pemikiran yang paling menarik dan paling berani justeru terjadi di kalangan generasi muda NU. Banyak kaum modernis terpelajar telah menjadi pejabat atau pegawai negeri, sedangkan sebagian besar orang NU berada di luar sistim pemerintahan. ICMI telah menjadi simbol dan sekaligus ekspresi kedekatan para sarjana modernis dengan pemerintah. Dengan mendirikan Forum Demokrasi, Abdurrahman Wahid mengilhami banyak generasi muda NU untuk bersikap kritis terhadap negara dan kebijaksanaan pemerintah, dan untuk lebih terbuka terhadap kalangan lain, termasuk non-Islam dan kiri. Di samping kitab kuning dan Qutb atau Qaradhawi, mereka mencari ilham dari teologi pembebasan, ilmu sosial, pemikiran sosialis, cendekiawan Muslim seperti Hassan Hanafi, dan penulis-penulis posmo.
Selama Abdurrahman Wahid berada dalam opposisi terhadap pemerintah, gerakan progresif NU ini menganggapnya sebagai contoh dan pengayom mereka. Tetapi ketika ia kembali menjalin hubungan baik dengan Suharto dan membawa Tutut keliling ke pesantren menjelang pemilu 1997, mereka terpaksa menentukan sikap mereka sendiri dan mengambil jarak dari figur Gus Dur. Berdirinya PKB sebagai wadah politik baru warga NU, dan kemudian terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia merupakan tantangan lebih berat bagi gerakan progresif NU. Mereka harus memilih antara arena politik praktis dan ‘perjuangan di jalur kultural’ yang telah menjadi ciri khas mereka.
Penulis buku ini, saudara Laode Ida, sudah cukup lama memperhatikan dinamika pemikiran, percaturan politik dan konflik antar-kelompok di dalam NU. Dari tulisan pertamanya yang saya baca, saya terkesan dengan pegamatan dan analisanya yang jitu. Buku ini merupakan kajian penting tentang evolusi gerakan progresif NU, sejak kemunculannya pada pertengahan dasawarsa 1980-an hingga masa kepresidenan Abdurrahman Wahid. Ini bukan kajian pertama tentang gerakan tersebut, – di antara sejumlah karya lain, dua karya berharga, yang layak diperhatikan, ialah ‘potret diri’ anak muda NU yang disusun oleh Hairus Salim dan Muhammad Ridwan, dan disertasi Djohan Effendi tentang wacana dan aktivisme mereka[1] – tetapi ia menyajikan sumbangan baru yang penting. Kajian Laode Ida ini meletakkan gerakan progresif ini dalam konteks konflik politik internal NU dan perubahan politik pada masa akhir Suharto dan pasca Suharto, dan ia menunjukkan suatu segi dinamika NU yang sering terlupakan pada masa sekarang karena perhatian pengamat lebih banyak difokuskan pada manuver politik para kiai dan politisi. Pada masa sekarang, semua partai politik dan semua calon presiden memandang NU sebagai gudang suara terbesar di Indonesia. Para kiai dikunjungi oleh berbagai politisi dan memainkan peranan penting dalam bargaining politik. Keputusan Situbondo seperti terlupakan, permainan politik praktis kelihatannya kembali menjadi obsesi utama para tokoh NU. Buku ini menunjukkan bahwa di bawah permukaan yang sangat politis ini, gerakan-gerakan progresif tetap bertahan dalam sikapnya yang peduli pada masalah-masalah rakyat kecil dan kritis terhadap pemimpin politik, termasuk yang dari NU sendiri. Karya ini merupakan dokumen penting, yang akan menjadi salah satu dari sejumlah kecil buku dasar tentang NU dan masyarakat Indonesia.
Utrecht, Mei 2010
Martin van Bruinessen
Siapakah Sahabat Sejatimu ?
“Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”
Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya, namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya yang menyadarkan kepentingan yang kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.
Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan fana yang tampak padanya.”
Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”
Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra, “Apa kabarmu pagi ini wahai Haritsah?”
“Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits).
Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…”
Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…”
Sufi Inggris Yang Memukau
Martin Lings
Martin Lings dikenal sebagai cendekiawan yang komplet. Karyanya banyak memukau berbagai kalangan.
”Nasib manusia adalah ruang dan waktu,/ bergerak dan diam/ Langit dan bumi,/ dengan Ruh bersayap dan tak bersayap/ Nafas kehidupan diembuskan ke dalam tubuh kita. (Martin Lings)
Ada sebuah buku tentang Nabi Muhammad Saw. yang sangat fenomenal dengan Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Buku yang karya yang diterbitkan tahun 1983 itu adalah karya seorang cendekiawan Inggris Martin Lings. Buku yang berisikan biografi Rasulullah Saw ini didedikasikan untuk pemimpin Pakistan, Zia ul-Haq. Dengan gaya narasi (bertutur) yang halus dan mudah dipahami, buku ini mampu menulis dengan detail kehidupan Rasulullah Saw. secara mengagumkan. Banyak sudah pembaca yang memujinya dengan menyebut tour de force, karya nan tiada bandingannya.
Ditulis dari perspektif seorang cendekiawan-sejarawan yang juga mempraktikkan Islam dalam keseharian, buku tersebut cepat terkenal dan menjadi salah satu bacaan wajib mengenai kehidupan Nabi Muhammad Saw. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa serta memperoleh sejumlah penghargaan dari dunia Islam. Profesor Hamid Dabashi dari Columbia University mengungkapkan kekagumannya. ”Ketika membaca buku Muhammad karya Lings, kita akan bisa merasakan semacam efek kimia pada narasi dan komposisi bahasa yang terkombinasi dengan keakuratan serta gairah syair. Lings adalah cendekiawan-penyair,” katanya. Oleh banyak kalangan, buku ini dinilai sebagai salah satu buku biografi Rasulullah Saw yang terbaik dan pernah diterbitkan.
Menyebut memang akan kita akan menemukan karya-karya yang mengagumkan. Di kalangan peneliti, pelajar dan tokoh muslim, namanya sangat popular. Tulisan dan karya-karyanya mampu memberi inspirasi banyak orang dalam mempelajari Islam. Padahal, sang penulis dulunya seorang pemeluk Kristen yang taat. Setelah masuk Islam ia berganti nama menjadi Abu Bakr Siraj Ad-Din. Baginya Islam bukan hanya sekadar agama tetapi petunjuk hidup umat manusia. Martin begitu terkesan dengan Al Quran dan pribadi Rasulullah Saw. Martin menyebut tak ada tokoh yang melebihi Nabi Muhammad Saw, baik dalam akhlak maupun kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bukunya ini menjadi salah satu bukti kecintaannya kepada Rasulullah Saw.
Martin Lings dikenal sebagai seorang penulis produktif. Karya-karyanya sangat banyak. Diantaranya adalah terjemahan teks Islam, puisi, seni, dan filsafat. Membaca tulisan-tulisannya Lings kerap disejajarkan dengan peneliti seni berkebangsaan Swiss-Jerman, Titus Burckhardt; tokoh filsuf abadi dan metafisikawan Prancis, Rene Guenon; serta cendekiawan Jerman, Fritjhof Schuon. Ia juga selalu identik dengan seorang sufi yang gigih dalam menyebarkan Islam di Barat melalui tulisan-tulisan dan artikel-artikelnya yang tajam dan kritis. Namun, hal yang paling berkesan dari Lings adalah keterkaitan karya dengan jiwa ihsan (keindahan dan kecemerlangan) yang dimilikinya. Ia mencurahkan jiwa dan hatinya dalam menghasilkan sebuah karya yang inspiratif, jelas, dan berkualitas.
Beberapa karyanya antara lain Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources, The Sacred Art of Shakespeare: To Take Upon Us the Mystery of Things, A Sufi Saint of the Twentieth Century, The Qur’anic Art Of Calligraphy And Illumination, Religion in the Middle East dan The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of the Modern World in the Light of Tradition and Prophecy.
Martin Lings dilahirkan di Lancashire, Inggris, 24 Januari 1909. Meski begitu, Martin lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di Amerika Serikat untuk mengikuti ayahnya. Ketika keluarganya kembali ke Inggris ia menjadi siswa ke Clifton College, Bristol. Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Magdalen College, Oxford. Ia belajar literatur Inggris dan memperoleh gelar BA tahun 1932. Tahun 1935, dia memutuskan pergi ke Lithuania untuk menjadi pengajar studi Anglo-Saxon dan Inggris Tengah di Universitas Kaunas. Pada tahun 1939, Lings datang ke Mesir mengunjungi seorang teman dekatnya, Rene Guenon yang mengajar di Universitas Kairo. Akan tetapi, pada saat kunjungannya itu, sang teman meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Kemudian, Lings diminta untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh temannya ini. Dia menerima tawaran tersebut.Lings pun mulai aktif belajar bahasa Arab dan mempelajari Islam. Setelah banyak berhubungan dengan ajaran Sufi Sadzililiyah, dia berketetapan hati untuk masuk Islam. Setelah masuk Islam, Lings makin dekat dengan Rene Guenon yang juga sudah memeluk Islam. Dia lantas menjadi asisten pribadi serta penasihat spiritual Guenon.
Ketika di Mesir menikah dengan Lesley Smalley. Keduanya tinggal di sebuah kamp pengungsi di dekat piramid. Martin mengajar bahasa Inggris di Universitas Cairo sambil mementaskan drama Shakespeare. Pada tahun 1952 ketika revolusi anti-Inggris oleh kaum nasionalis keduanya memutuskan kembali ke Inggris. Di negeri ratu Elizabeth ini ia melanjutkan pendidikan ke School of Oriental and African Studies, London dan mendapat gelar doktor. Tesisnya mengenai seorang sufi terkenal asal Ajazair, Ahmad al-Alawi, yang kemudian ia terbitkan menjadi sebuah buku dengan judul A Sufi Saint of the Twentieth Century. Tahun 1955 Martin bekerja sebagai asisten ahli naskah kuno dari kawasan Timur pada British Museum. Pekerjaan itu dilakoninya hingga hampir dua dasawarsa.
Tahun 1973, martin memfokuskan perhatiannya terhadap kaligrafi Alquran. Beberapa tahun kemudian, dia mempublikasikan karya klasiknya pada berjudul The Qur’anic Art Of Calligraphy And Illumination, bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Dunia Islam tahun 1976. Komitmennya dalam Islam terbawa sepanjang hayat. Bahkan, sepuluh hari sebelum meninggal dunia, Lings masih sempat menjadi pembicara di depan tiga ribu pengunjung pada acara Maulid Nabi Muhammad Saw yang bertajuk Bersatu untuk Sang Nabi yang diadakan di Wembley, Inggris. Lings mengatakan, itu adalah pertama kalinya dia berbicara mengenai makna kehidupan Nabi Muhammad Saw dalam waktu 40 tahun.
Budi Pekerti Yang Baik
Sayyidina Ali K.W
1. Budi pekerti yang mulia ada sepuluh: dermawan, malu, jujur, menyampaikan amanat, rendah hati (tawadhu), cemburu, berani, santun, sabar, dan syukur.
- Tiga macam orang yang tidak diketahui kecuali dalam tiga situasi: (pertama), tidak diketahui orang pemberani kecuali dalam situasi perang. (Kedua), tidak diketahui orang yang penyabar kecuali ketika sedang marah. (Ketiga), tidak diketahui sebagai teman kecuali ketika (temannya) sedang butuh.
- Janganlah sekali-kali engkau menjadi orang yang keburukannya lebih kuat daripada kebaikannya, kekikirannya lebih kuat daripada kedermawanannya, dan kekurangannya lebih kuat daripada kebajikannya.
- Pandanglah buruk pada dirimu apa yang engkau pandang buruk pada selainmu.
- Semulia-mulia nasab adalah akhlak yang baik.
- Tidak ada teman yang seperti akhlak yang baik, dan tidak ada harta warisan seperti adab.
- Hendaklah engkau ridha akan perlakuan orang-orang terhadapmu sama seperti engkau ridha atas perlakuanmu terhadap mereka.
- Adab adalah pusaka yang terbaik.
- Jika engkau menyukai akhlak yang mulia, maka hendaklah engkau menjauhi segala hal yang haram.
- Tidak adanya adab adalah sebab segala kejahatan.
- Perjalanan adalah ukuran akhlak.
- Kasihanilah orang-orang fakir yang sedikit kesabarannya, kasihanilah orang-orang kaya yang sedikit syukurnya, dan kasihanilah semua karena lamanya kelalaian mereka.
- Kemuliaan keturunan yang paling tinggi adalah akhlak yang baik.
- Ketakwaan adalah akhlak yang utama.
- Akhlak yang baik adalah sebaik-baik teman.
- Kalau segala sesuatu harus dipisah-pisahkan, maka dusta tetap bersama takut, kejujuran bersama keberanian, santai bersama keputusasaan, kelelahan bersama kerakusan, penolakan bersama ketamakan, dan kehinaan bersama utang.
- Hendaklah kalian menjaga adab. Sebab, jika kalian raja, pasti kalian akan melebihi raja-raja yang lain; jika kalian penengah, pasti kalian akan dapat mengatasi (yang lain); dan jika kehidupan kalian miskin, pasti kalian akan dapat hidup (terhormat) dengan adab kalian.
- Pilihlah untuk diri kalian, dari setiap kebiasaan, yang paling bagusnya, karena sesungguhnya kebaikan merupakan kebiasaan.
- Semulia-mulia raja adalah yang tidak dicampuri kesombongan dan tidak menyimpang dari kebenaran. Sekaya-kaya orang adalah yang tidak tertawan oleh ketamakan. Sebaik-baik kawan adalah yang tidak menyulitkan kawan-kawannya. Dan sebaik-baik akhlak yang paling dapat membantunya dalam ketakwaan dan ke-wara `-an (kehati-hatian dalam beragama).
- Seseorang tidak akan menjadi mulia sehingga dia tidak peduli dengan pakaian yang mana saja dia muncul (di tengah-tengah masyarakatnya).
- Adab adalah pakaian yang senantiasa baru.
Begawan Ekonomi Indonesia
Lahir:
Kebumen/Jawa Tengah, 29 Mei 1917
Meninggal:
Jakarta, 9 Maret 2001
Menikah:
7 Januari 1947
Istri:
Dora Sigar (asal Langowan/Minahasa)
Anak:
Biantiningsih Djiwandono (istri bekas Gubernur BI Sudradjat Djiwandono), Maryani Le Maistre, Prabowo Subianto, dan Hashim Suyono Djojohadikusumo
Orangtua:
R.M. Margono Djojohadikusumo/Siti Katoemi Wirodihardjo
Pendidikan:
- HIS (Holland Inlandsche School)
- MULO (Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs)
- Universitas Sorbonne di Paris, Perancis (1934-1938)
- Economische Hogeschool di Rotterdam/Belanda (Sarjana 1940, Doktor 1942)
Riwayat Pekerjaan:
- Pembantu Staf Perdana Menteri RI Sutan Syahrir (1946)
- Presiden Direktur Indonesian Banking Corporation (1947)
- Wakil Ketua Perutusan Indonesia pada Dewan Keamanan PBB membantu L.N.Palar (1948-1949)
- Anggota Delegasi RI di Konperensi Meja Bundar, di Den Haag, Belanda (1949)
- Kuasa Usaha KBRI di Washington, D.C (1950)
- Menteri Perdagangan & Perindustrian RI di Kabinet Natsir (6/9/1950 - 27/4/1951)
- Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (1952 - 2000)
- Menteri Keuangan RI di Kabinet Wilopo (3/4/1952 - 30/7/1953)
- Menteri Keuangan RI di Kabinet Burhanuddin Harahap (12/8/1955 - 24/3/1956)
- Bergabung dengan PRRI/Permesta (1958 -1961)
- Di pengasingan, sebagai Konsultan Ekonomi di Malaysia, Hong Kong, Thailand, Perancis dan Swiss (1958 - 1967)
- Menteri Perdagangan RI di Kabinet Pembangunan I (6/6/1968 - 28/3/1973)
- Menteri Riset di Kabinet Pembangunan II (28/3/1973 - 28/3/1978)
Kegiatan Lain:
- Guru Besar Universitas Indonesia (1951-2001)
- Ketua Umum Induk Koperasi Pegawai Negeri (1982)
- Konsultan Ekonomi pada Indoconsult (1978) dan PT Redecon
- Komisaris Utama PT Bank Pembangunan Asia (1986)
- Aktif di LP3ES
- Ketua Dewan Penyantun Universitas Mertju Buana (1985 - 1990)
Karya:
- Soal Bank di Indonesia, 1946
- Keuangan Negara dan Pembangunan, 1954
- Ekonomi Pembangunan, 1955
- Kebijaksanaan di Bidang Ekonomi Perdagangan, 1972
- Indonesia dalam Perkembangan Dunia Kini dan Masa Datang, 1976
- Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila, 1985
- Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan, 1986
Penghargaan:
- Bintang Mahaputra Adipradana II
- Panglima Mangku Negara, Kerajaan Malaysia
- Grand Cross of Most Exalted Order of the White Elephant, First Class dari Kerajaan Thailand
- Grand Cross of the Crown dari Kerajaan Belgia serta yang lainnya dari Republik Tunisia dan Perancis
Buku Biografi:
Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, terbitan Pustaka Sinar Harapan, April 2000
Alamat rumah:
Jalan Kertanegara 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Sumber:
Dari berbagai sumber terutama Intisari, Tempo, dan Kompas
SUMITRO HOME
► Selamat datang di situs gudang pengalaman ENSIKONESIA (ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA) ► Thank you for visiting the experience site ► NANTIKAN TAMPILAN BARU TOKOHINDONESIA.COM ► Biografi Jurnalistik ► The Excellent Biography ► Database Tokoh Indonesia terlengkap yang tengah dikembangkan menjadi Ensiklopedi Tokoh Indonesia online ► Anda seorang tokoh? Sudahkah Anda punya "rumah pribadi" di Plasa Web Tokoh Indonesia? ► Silakan kirimkan biografi Anda ke Redaksi Tokoh Indonesia ► Dapatkan Majalah Tokoh Indonesia di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Gunung Mulia, Drug Store Hotel-Office & Mall dan Agen-Agen atau Bagian Sirkulasi Rp.14.000 Luar Jabotabek Rp.15.000 atau Berlangganan Rp.160.0000 (12 Edisi) ► Segenap Crew Tokoh Indonesia Mengucapkan Selamat Ulang Tahun Kepada Para Tokoh Indonesia yang berulang tahun hari ini. Semoga Selalu Sukses dan Panjang Umur ►
BIOGRAFI
Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo
Begawan Ekonomi Indonesia
Ia pernah lima kali menjabat sebagai menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru. Begawan ekonomi yang ikut mendirikan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ini juuga diangkat oleh PBB menjadi anggota “lima ahli dunia” (group of five top experts). Dalam rangkaian perjuangan dan pengabdian kepada bangsa dan negaranya, ia juga pernah menjadi ‘penyelundup’ dan sempat bergabung dalam PRRI/Permesta, bahkan menjadi ‘pelarian’ selama sepuluh tahun di luar negeri.
Sumbangan Sumitro Djojohadikusumo ''Bapak Sarjana Ekonomi Indonesia" terhadap perkembangan ilmu ekonomi yang berorientasi pada kebijaksanaan pembangunan di Indonesia, tidak diragukan lagi. Ia berhasil mengenyam pendidikan hingga meraih doktor bidang ekonomi yang menurut ukuran orang pada zamannya masih sangat sedikit jumlahnya.
Setamat Hogere Burger School (HBS), pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917, ini berangkat ke Belanda akhir Mei 1935. Sempat dua bulan "mampir" di Barcelona, Sumitro akhirnya ke Rotterdam untuk belajar. Dalam tempo dua tahun tiga bulan, gelar Bachelor of Arts (BA) diraihnya. Ini rekor waktu tercepat di Netherlands School of Economics. Ia lalu melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris (1937-1938).
Antara 1938-1939 di Prancis, Sumitro bergabung dengan kelompok sosialis dan berkenalan dengan tokoh dunia seperti Andre Malraux, Jawaharlal Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson. Dari mereka dia belajar banyak tentang pengabdian, perlawanan, keadilan sosial, dan kekonsistenan hidup. Ia kemudian sempat ikut latihan militer di Catalonia, tapi gagal masuk Brigade Internasional karena umurnya belum genap 21 tahun.
Dari Paris, Sumitro kembali ke Rotterdam, melanjutkan studi ekonomi. Ia memasuki periode penulisan disertasi saat Nazi Jerman menyerang Belanda, 5 Mei 1940. Pimpinan Nederlandse Economische Hogeschool menunjuk Prof. Dr. G.L. Gonggrijp sebagai promotornya.
Disertasinya berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie yang dalam bahasa Indonesia berarti "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi" diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische Hogeschool. Gelar Master of Arts (MA) diraih tahun 1940. Sementara, usianya baru menjelang 26 tahun saat ia menyandang gelar doktor ilmu ekonomi.
Setelah menggondol gelar doktor, Sumitro ditampung oleh Sjahrir, dijadikan pembantu staf Perdana Menteri (1946), diterima sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang waktu itu dipimpin oleh Sjahrir-Amir Syarifuddin. Pada masa proklamasi kemerdekaan RI, Sumitro tergolek sakit di pembaringan hampir setahun lamanya. Ia menjalani operasi tumor usus besar tanpa antibiotika. Beruntung ia selamat dari ancaman maut.
Pagi, 18 Agustus 1945, Kota Rotterdam dikejutkan oleh berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Radio Hilversum. Berita itu memberikan kekuatan sugestif bagi kesembuhannya. Saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang di Church House, London, 17 Januari 1946, ia dan Mr. Zairin Zain ikut hadir. Seusai sidang, Sumitro dan Zairin terbang ke Jakarta. Tiba di rumah orang tuanya, Sumitro disambut suasana duka: dua adiknya, Subianto (21) dan Sujono (16) gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Tangerang.
Kenyataan ini memperkuat tekadnya untuk melawan Belanda dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Sumitro dan Zairin pada 14 Maret 1946 menyusun argumentasi baru untuk menghadapi diplomasi Belanda.
Dunia internasional menolak Agresi Militer Belanda, 21 Juli 1947. India dan Australia, 30 Juli 1947, membawa persoalan Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan di Lake Success, AS. Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Charles Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo ikut hadir.
Sumitro terpaksa meninggalkan Dora, yang baru enam bulan dinikahinya, tepatnya 7 Januari 1947. Ia berjumpa pertama dengan Dora Sigar di Rotterdam tahun 1945. Ketika itu Dora belajar di Ilmu Perawatan Pascabedah di Utrecht.
Menjadi “Penyelundup”
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua. Satu hari kemudian Sumitro bergegas menemui Robert A. Lovett, pejabat sementara Menteri Luar Negeri AS di Washington DC sambil membawa sebuah memorandum. Ketika Sidang Dewan berlangsung, Sumitro meninggalkan New York untuk menghadiri Konferensi Asia yang membahas masalah Indonesia di New Delhi, 18 Januari 1949. Ia bergabung dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Mr AA Maramis.
Masa transisi - mulai dari takluknya Jepang, proklamasi kemerdekaan, hingga usaha-usaha Belanda untuk menjajah kembali - berdampak bagi perekonomian Indonesia.
Saat itu masih beredar mata uang Jepang, gulden Belanda, dan uang NICA.
Berangsur-angsur dilakukan penggantian dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). Oleh karena kekurangan bahan kimia untuk membuat ORI, Sumitro mencarinya ke Singapura dan "menyelundupkannya" ke Jawa. Ia belajar jadi "penyelundup" untuk kepentingan revolusi. Ini tugas dari Sjahrir dan Bung Hatta.
Pada 12 April 1947, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pimpinan Muhammad Hatta. Anggota panitia pemikir berjumlah 98 orang. Sumitro bertugas memikirkan hal-ihwal keuangan dipimpin Mr Sjafruddin Prawiranegara.
Usianya masih sangat muda (33) ketika Sumitro diangkat jadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian, sekitar Mei 1950. Pada 20 Maret 1951 Kabinet Natsir roboh.
Kemudian, Ketua Senat FE-UI Suhadi Mangkusuwondo bersama mahasiswa FE-UI meminta Sumitro menjadi dekan, dimana dia salah seorang pendiri fakultas tersebut. Waktu itu usianya 34 tahun. Belum lama menjabat dekan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo diangkat menjadi guru besar ilmu ekonomi di FE-UI. Selama di FE-UI, Sumitro ingin menjadikannya Jakarta School of Economics yang punya integritas. Dari sana, lahirlah orang-orang seperti Widjojo Nitisastro, Barli Halim, JB Sumarlin, dan Ali Wardhana.
Pada 3 April 1952, Sumitro kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo. Sejak 3 Juli 1953, Kabinet Wilopo demisioner. Tanggal 30 Juli 1953 Sumitro kembali menjadi Dekan FE-UI.
Semenjak menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 - 30 Juli 1953), Sumitro merasakan adanya ketimpangan daerah. Terjadi pergolakan dalam dirinya sebagai politikus dan akademisi.
Tanggal 30 Juli 1953 - 24 Juli 1955 adalah masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kemudian terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956) dan Sumitro kembali dipercaya sebagai Menteri Keuangan.
Perjuangkan Otonomi Daerah
Sepanjang tahun 1957, koran komunis dan pers nasional seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur melansir pemberitaan buruk tentang Sumitro. Ia dituduh melakukan korupsi besar-besaran.
Pada 23 Maret 1957 Sumitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung. Tapi pemeriksa menyatakan, tidak ada alasan untuk menahan Sumitro. Panggilan kedua oleh CPM terjadi pada tanggal 6 - 7 Mei 1957. Kemudian 8 Mei 1957, ia dipanggil lagi.
Sumitro semakin tertekan oleh serangan koran prokomunis dan merasa hendak ditangkap. Atas prinsip "pengabdian dan perlawanan" ia memilih melawan rezim Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan golongan komunis dan mengabaikan pembangunan daerah.
Pada Mei 1957 ia ke Sumatra, bertemu Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin. Pada 13 Mei 1957, ia tiba di Padang, bertemu Panglima Divisi Banteng, Letkol Achmad Husein. Malamnya Sumitro menuju Pekanbaru, menemui Kapten Yusuf Baron.
Ultimatum kepada pemerintah pusat akhirnya dikeluarkan pada 10 Februari 1958. Tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein melalui Radio Bukittinggi mengumumkan proklamasi pemerintahan tandingan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Dari Jakarta, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah menghubungi dewan-dewan militer di daerah. Sekaligus menghubungi Sumitro Djojohadikusumo. Mereka "mengejar" Sumitro hingga ke Padang. Tapi Sumitro keburu ke Pekanbaru, kemudian ke Bengkalis, sempat menyamar jadi kelasi kapal menuju Singapura.
"Ia ternyata menempuh jalan sendiri dan diumumkan menjadi salah seorang menteri PRRI," tulis Djoeir dalam bukunya, Memoar Seorang Sosialis (1997, hlm 268). Belakangan, setelah Sumitro terlibat dalam PRRI, Presiden Soekarno mendapat dalih bagus untuk membubarkan PSI dan Masyumi bulan Agustus 1960.
Sumitro lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum ke Manila dan melakukan kontak dengan Perjuangan Semesta (Permesta). Menyamar menjadi cargo supervisor atas nama pemilik kopra, Sumitro masuk ke Bitung. Ia ke Sumatra menggelar pertemuan dan memperluas hubungan dengan pemimpin militer di Sumatra, juga Sumual di Sulawesi.
Subadio, utusan Sjahrir, bertemu Sumitro di Singapura. Sumitro berperan menangani bidang logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein bagi PRRI. Ia sempat mengecek pengadaan senjata. Sebagian senjata dibeli di Phuket (Thailand) dan Taiwan. Dua kali ia masuk Taiwan, dan kembali ke Minahasa dengan pesawat bermuatan amunisi.
Konsep semula, menurut Sumitro, hanya untuk memperbaiki Jakarta. Tidak ada bayangan membuat suatu pemerintahan tandingan. Tuntutan mereka hanyalah ingin otonomi dan pengembangan daerah.
Sumitro mempercayai gagasan persatuan Indonesia. Namun, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), dan Pulau Jawa tidak termasuk di dalamnya, ia menolak tegas, "Kalau demikian, saya tidak bisa ikut, sebab negara kita satu."
Pelarian ke Luar Negeri
Ketidaksepakatan ini mendorong Sumitro mengungsi ke luar negeri, lantaran belum memungkinkan pulang ke Jakarta. Pemerintahan Soekarno masih menganggapnya pemberontak yang harus disingkirkan.
Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak nama samaran. Para mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai Sungkono. Di Jerman dipanggil Sunarto. Di luar Frankfurt pakai nama Abdul Karim. Di Hongkong orang mengenalnya Sou Ming Tau (bahasa Kanton) dan Soo Ming Doo (bahasa Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya Abu Bakar. Ia dipanggil Henry Kusumo atau Henry Tau di Bangkok.
Demi keamanan, Sumitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich-Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok.
Untuk menghidupi keluarganya di pelarian, ia menjadi saudagar mebel dan real estate di Malaysia. Juga mendirikan Economic Consultans for Asia and the Far East (Ecosafe) di Hongkong, dan cabangnya di Kuala Lumpur. Ia memakai nama Kusumo.
Sebagai orang tua, ia dikenal keras dan disiplin dalam mendidik keempat anaknya. Buktinya, putri tertua, Ny. Biantiningsih yang istri mantan Gubernur BI J Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar kesarjanaan. Begitu juga Ny Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah dengan orang Prancis. Letjen Prabowo Subianto berhasil meniti karier sebagai Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Lalu si bungsu Hashim Sujono menjadi pengusaha sukses.
Kembali ke Tanah Air
Pada Maret 1967, Soeharto menjabat presiden RI. Suatu kali Ali Moertopo menemui Sumitro di Bangkok, dan bertanya, "Apakah Pak Mitro bersedia kembali?" Sumitro bilang, "You just remain yourself, and I just remain myself." Kemudian, Menlu Adam Malik, yang berkunjung ke Bangkok, mempertebal keyakinan Sumitro untuk pulang ke Tanah Air.
Sesudah resmi menjadi presiden, Soeharto menerima Sumitro di Cendana, 29 Mei 1968. Ia meminta kesediaan Sumitro membenahi ekonomi yang ambruk. Inflasi 600% lebih, kala itu.
Sumitro akhirnya dilantik sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Maret 1968. Tanggal 6 Juni 1968 susunan menteri Kabinet Pembangunan I diumumkan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset Nasional (Menristek) pada Kabinet Pembangunan II.
Menjadi Konsultan
Sekeluar dari kabinet tahun 1978, Penggemar kopi dan perokok berat ini menjadi konsultan. Juga menulis buku. Dalam kurun waktu 1942-1994, ekonom yang fasih berbahasa asing antara lain bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Spanyol ini telah menulis 130 buku dan makalah dalam bahasa Inggris.
Sejak 1982 ia mengurusi Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). Ia sempat menjadi komisaris Bank Niaga, Bank Universal, dan Bank Kesejahteraan. Pada 18 September 1992 - Desember 1992 Sumitro ditunjuk sebagai preskom Astra.
Buku terakhir yang ditulisnya adalah Jejak Perlawanan Begawan Pejuang yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, April 2000. Berbagai tanda penghargaan yang diperolehnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri antara lain Bintang Mahaputra Adipradana (II), Panglima Mangku Negara, Kerajaan Malaysia, Grand Cross of Most Exalted Order of the White Elephant, First Class dari Kerajaan Thailand, Grand Cross of the Crown dari Kerajaan Belgia serta yang lainnya dari Republik Tunisia dan Perancis.
Tantangan
Di usia senjanya, cobaan bagai badai datang bagi keluarga Sumitro. Karier putra ketiganya, Prabowo Subianto, di bidang militer, tamat. Menantunya, Sudradjat Djiwandono, suami Biantiningsih, putri sulung, dicopot dari jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) hanya 10 hari menjelang masa jabatannya habis. Putra bungsunya, Hashim, diterpa banyak kesulitan dalam usaha.
Meski demikian, Sumitro yang sudah mengecap asam garam kehidupan tetap memegang pedoman hidupnya, “Smiling in the face of adversity/Contemptous of danger/Undaunted in defeat/ Magnanimous in victory (Tersenyum menghadapi kemalangan/ Berani menantang bahaya/Tegar dalam kekalahan/Rendah hati akan kemenangan). Pedoman dalam bentuk sajak itulah yang ditanamkannya pada putra-putrinya untuk tetap bertahan dalam menghadapi segala kesulitan.
"I've been through worst. Ini bukan yang pertama kali!" katanya lantang. "Ujian buat saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha-ha-ha!" tutur pria yang suka bicara ceplas-ceplos ini.
Kisah ‘Suka Ceplas Ceplos’
Gayanya yang ceplas-ceplos dan blak-blakan menjadi ciri khas. Sebagai "begawan" ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memang selalu kritis. Setelah menjadi besan Presiden Soeharto pun ia tetap melancarkan kritik tajam terhadap jalannya roda pembangunan. Baginya, perkawinan anak laki-lakinya Letjen Prabowo Subianto dengan Siti Hediyati (putri Soeharto) pada Mei 1983 hanyalah historical accident.
Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran 30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri didirikan Sumitro tahun 1955.
Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) - sudah kelewat keras mengkritik, biasanya menantunya datang kepadanya untuk menyampaikan pesan Presiden Soeharto.
"Ada apa, Tiek? Ada pesan dari Bapak?" sambut Sumitro.
"Ya, Bapak bilang, 'Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja'!" ujar Siti Hediyati alias Titiek Prabowo.
"Ya, saya memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!" jawab Sumitro enteng.
Masih soal sinyalemen kebocoran itu, ketika bertemu Sumitro, Soeharto langsung berkata, "Kok, Pak Mitro suaranya begitu?"
Sumitro menjelaskan, sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat suatu masalah lalu mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya. "Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi.
Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memang begitu. Kalau Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro, penerima Bintang Mahaputra Adipradana II.
Dengan nada agak sinis Sumitro menambahkan, "Saya tidak punya antena ke angkasa luar, Pak. Ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah."
"Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).
Presiden memahami penjelasan itu namun ia menekankan, "Tapi, mbok ya jangan disiarkan, Pak Mitro."
Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam. Dalam tubuh ekonomi nasional melekat berbagai macam penyakit, seperti distorsi dalam bentuk monopoli, oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan, dan subsidi untuk barang-barang tertentu.
Sumitro melukiskan, "Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya cukup Aspirin. Tapi kalau institutional disease, sudah perlu antibiotika. Dan saya yakin bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu sampai diamputasi, karena masih ada kesempatan untuk segera bertindak. Namun, paket untuk mengatasi disease itu harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tak boleh ada intervensi." (Kompas, 11/1/1998).
Dicuekin Bu Tien
Menanggapi soal adanya kolusi antara oknum pejabat dengan oknum konglomerat, Sumitro menegaskan, "Saya tidak setuju ada kolusi dengan alasan apa pun. Hal itu harus diberantas!"
Dalam hal ini ia punya pengalaman menarik. Ada pengusaha yang berusaha "menyogok" dengan mengirim bunga kepada istrinya. Di balik bunga itu terselip perhiasan emas dan berlian! Sumitro memanggil sekretarisnya, Babes Sumampouw, "Babes, apa-apaan ini. Kirim kembali, pulangkan!"
Pengusaha itu datang mengeluh, "Pak Mitro, mengapa begitu?" Sumitro pun menjawab, "Hati-hati kamu, ya, lain kali. Kamu masih untung saya menteri. Sembrono kamu, kasih perhiasan kepada istri saya. Enggak ada orang lain yang berhak memberi perhiasan kepada istri saya. Itu 'kan menghina seorang suami."
Pengalaman lain, usai menyelesaikan tender impor cengkeh, Sumitro dikejutkan oleh laporan Ali Moertopo bahwa Ibu Tien Soeharto marah-marah kepadanya. Ibu Tien berharap Sukamdani yang mendapat tender, tapi kenyataannya yang menang Probosutedjo dan Liem Sioe Liong.
Sejak peristiwa itu, lebih dari setahun, Ibu Tien tak mau menegur Sumitro. Kalau mereka berjumpa, Ibu Negara itu melengos, membuang muka. Biarpun begitu, terhadap Dora Sigar, istri Sumitro, sikap Ibu Tien tetap baik dan mau mengajak bicara.
Rendah Hati
Meski lima kali menjabat menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru, toh ia tetap rendah hati. Seperti yang terjadi ketika ia menghadiri suatu resepsi pernikahan.
"Monggo ... monggo, Pak, terus lajeng kemawon (Silakan, Pak, terus saja ke depan)," pinta anggota panitia, mempersilakan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang berada dalam antrean para tamu untuk menyalami mempelai.
"Sampun ... matur nuwun (terima kasih)," tolak Pak Cum, panggilan akrabnya. Sementara itu para tetamu VIP dan mereka yang merasa VIP, saling menyalip maju dan sibuk berfoto ria bersama pengantin.
***
Pada usia menjelang 84 tahun, Sumitro meninggal dunia Jumat (9/3/2001) pukul 00.00 di Rumah Sakit Dharma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur, setelah beberapa lama dirawat karena sakit jantung. Di bawah iringan gerimis dan tahlil masyarakat, jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2001) siang sekitar pukul 14.35. Sedikitnya 1.000 warga sekitar mengikuti prosesi pemakaman.
Tampak hadir melayat antara lain Gus Dur (presiden saat itu), Ketua MPR Amien Rais, KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto, Ketua DPR Akbar Tandjung, pengusaha Ciputra, bekas Mentrans AM Hendropriyono, Pangkostrad Letjen TNI Ryamizard Ryacudu, Soeripto, Letjen (Purn) Sayidiman, bekas Pangkostrad Jenderal (Purn) Kemal Idris, Wakasad Letjen Kiki Syahnakri, bekas Menkeu Radius Prawiro, Menkimpraswil Erna Witoelar, Menko Perekonomian Rizal Ramli, dan Gubernur BI Syahril Sabirin.
Selasa, 31 Agustus 2010
Waspada !, Pria Ber helm Tebar Ancaman. 6 Cewek Di Medan Di Suntik Virus HIV, Saat Pulang Kerja
Pengaduan itu dibuat Sa (25) dan Ir (28). Empat cewek senasib lainnya, yakni Um, Fan, Pur dan Ku. Usai membuat pengaduan, pada wartawan, Sa mengaku peristiwa penusukan itu terjadi pada pagi 23 Juni 2010 sekira pukul 05.30 WIB. Ceritanya, pagi itu, Sa mengendarai sepeda motor menuju tempatnya bekerja, gedung Bank Sumut, Jl Imam Bonjol, Medan. Tapi sejak keluar dari rumah, Sa merasa dikuntiti seorang pria pengendara motor Kawasaki Ninja. Takut terjadi yang tak diinginkan, dia menghentikan motornya saat melintas di Jl Palang Merah, Medan.
Tapi, “Waktu aku berhenti, tiba-tiba pria itu langsung menusukkan sebuah benda tajam seperti jarum ke bokongku, lalu dia langsung kabur,” cerita Sa yang bermukim di kawasan Medan Johor.
Tiba-tiba ditusuk, Sa kontan berteriak. Tapi karena lelaki berhelm itu keburu kabur dan menghilang, Sa kembali melanjutkan perjalanannya menuju kantor. Di kantor, Sa langsung memeriksa bokongnya dan dia menemukan bagian belakang tubuhnya itu berdarah.
Modus yang sama juga dialami Ir. “Habis Sari, besoknya aku,” kata Ir.
Peristiwa yang dialami Ir terjadi pada pagi 24 Juni 2010. Modusnya juga sama. Ir sadar dikuntiti seorang pria pengendara motor saat dia berangkat kerja. Saat melintas di Jl Dr Mansyur, Medan, seorang pria dengan ciri-ciri sama seperti penusuk bokong Sa, juga kontan menusuk pantat Ir saat cewek ini menghentikan sesaat motornya di tepi jalan. “Kayak jarum gitu (senjatanya),” kata Ir, warga Sunggal.
Setiba di kantor, Ir pun menceritakan itu kepada teman-teman sekantornya. Dan setelah pengakuan Sa dan Ir, hari-hari berikutnya, giliran 5 teman sekantor mereka mengalami peristiwa yang sama. Enam cewek ini bingung. Apa arti bokong-bokong mereka disuntik oleh pria tak dikenal di tengah jalan?
Pertanyaan belum terjawab pasti itu akhirnya mengantar mereka pada dugaan
penyebaran virus HIV lewat jarum suntik. Takut itu benar terjadi, “Kami langsung melakukan pemeriksaan ke RS Malahayati Medan, dan kata dokter kami tidak terjangkit virus apa-apa. Kami juga cek darah di laboratorium Global,” terang Ir. “Kami tidak merasakan perubahan di tubuh kami (saat dan usai disuntik), tapi dokter menyuruh kami melakukan pemeriksaan sebulan sekali,” sambung Sa.
Tapi mengapa baru kemarin melapor polisi? Sa dan Ir mengaku baru kemarin melaporkan peristiwa Juni 2010 itu karena takut peristiwa yang sama terulang lagi. Ditanya sebab 4 teman mereka yang lain tak membuat pengaduan, Sa dan Ir mengaku 5 rekan sekantor mereka itu tak diijinkan permisi (buat laporan ke polisi) oleh pihak perusahaan. “Teman-teman kami tak diberikan ijin untuk melaporkan peristiwa tersebut, jadi kami berdua yang mewakili mereka untuk membuat pengaduan,” terang Sa.
Hingga kemarin, polisi masih mengusut kasus aneh yang mengarah dugaan motif penyebaran virus mematikan itu. Sa dan Ir pun diperiksa intensif. Sekadar mengingatkan, isu penyebaran HIV lewat jarum suntik juga pernah menghebohkan kawula muda Kota Medan pada beberapa bulan lalu. Isu santer itu menyebut: sejumlah kursi penonton di sejumlah bioskop di Medan telah dipasangi jarum suntik HIV-AIDS. Tapi isu ini perlahan hilang dan tak seorang korban pun ada melapor polisi. (sahala)